Kutacane — Pembangunan tembok penahan tanah (TPT) di Desa Lawe Pinis, Kecamatan Darul Hasanah, Kabupaten Aceh Tenggara, kembali menambah deretan persoalan dalam pengelolaan Dana Desa di wilayah ini. Proyek yang bersumber dari Dana Desa tahun anggaran 2025 itu kini menjadi sorotan publik lantaran ditemukan kejanggalan serius pada konstruksi fisik di lapangan. Dari penelusuran yang dilakukan wartawan dan aktivis lembaga antikorupsi, pekerjaan tembok tersebut dibangun tanpa pondasi sama sekali—sebuah pelanggaran teknis yang tidak bisa ditoleransi, apalagi untuk bangunan infrastruktur publik yang menyangkut keselamatan warga.
Proyek TPT yang direncanakan sebagai pengaman jalan desa dan area kebun warga itu sejatinya dibutuhkan masyarakat. Namun fakta di lapangan berbicara lain. Alih-alih kokoh dan memberi rasa aman, bangunan ini justru rawan ambruk sejak awal karena langsung disusun di atas tanah tanpa galian dasar pondasi. Batu-batu disusun seperti menyusun pagar kebun, tanpa sistem penguat, tanpa campuran material yang memenuhi standar teknik sipil. Tidak hanya itu, sebagian bangunan yang dikerjakan ternyata menumpuk di atas struktur lama, menguatkan indikasi adanya pengulangan pekerjaan dan pemborosan anggaran.
Proyek ini menyedot anggaran sebesar Rp215 juta. Bagi warga desa yang sangat bergantung pada jalan tersebut untuk membawa hasil panen dan ke kebun, nilai itu cukup besar untuk membangun sebuah struktur pengaman yang bertahan lama. Sayangnya, pekerjaan di lapangan menunjukkan indikasi pelaksanaan yang jauh dari harapan. Adukan semen tidak merata, susunan batu asal-asalan, dan konstruksi yang tidak terlihat memiliki desain atau perencanaan matang.
Seorang warga yang ditemui di lokasi mengatakan bahwa mereka sangat membutuhkan bangunan itu, tapi tidak bisa menerima cara kerja yang asal-asalan. Menurutnya, jika bangunan seperti ini dibiarkan, dalam waktu dekat pasti akan hancur, dan mereka akan kembali kesulitan mengakses jalan, apalagi saat musim hujan dan longsor.
Investigasi media dilakukan pada Sabtu, 7 Juni 2025. Video dokumentasi berdurasi 13 detik dan 1 menit 47 detik diambil langsung dari lokasi proyek. Dalam dokumentasi tersebut, terlihat jelas bahwa tembok dibangun langsung di atas tanah alami, tanpa penggalian dan tanpa susunan pondasi batu kali seperti lazimnya pembangunan TPT. Hal ini diperkuat oleh pengamatan visual dari berbagai sisi struktur yang tidak menunjukkan keberadaan landasan atau penguat kaki bangunan.
Kualitas pekerjaan juga sangat meragukan. Batu-batu disusun tidak beraturan, beberapa hanya disandarkan, dan tidak ada sambungan antarunit yang rapi. Struktur semacam ini, jika dibiarkan, bukan hanya akan cepat rusak, tapi juga berisiko besar bagi warga sekitar.
Jupriadi R, aktivis LSM Tipikor Aceh Tenggara, menyatakan bahwa pekerjaan ini adalah bentuk pelanggaran terbuka terhadap petunjuk teknis pembangunan fisik desa. Menurutnya, proyek tersebut harus dibongkar. Ia mendesak aparat penegak hukum, khususnya Kejaksaan Negeri Kutacane, untuk segera melakukan penyelidikan terhadap proyek TPT Desa Lawe Pinis. Ia menyebut pekerjaan ini bukan sekadar pelanggaran teknis, tapi sudah mengarah pada tindakan korupsi. Dana Desa bukan mainan, katanya, dan setiap rupiahnya wajib dipertanggungjawabkan.
Yang lebih mencengangkan, saat awak media mencoba mengonfirmasi pihak pelaksana, yakni Tim Pengelola Kegiatan (TPK), seorang yang mengaku bertanggung jawab di lapangan, Jis, dengan santai mengakui bahwa proyek tersebut memang tidak memakai pondasi. Ia berdalih bahwa hal tersebut akan ia sampaikan kepada kepala desa karena kepala desa adalah pemegang tanggung jawab utama dalam pengelolaan Dana Desa. Jawaban ini justru memperjelas adanya kelalaian kolektif dan pengabaian serius terhadap tanggung jawab publik.
Video dokumentasi lapangan yang menjadi bukti utama memperlihatkan kondisi struktur bangunan yang buruk, tidak stabil, dan tidak sesuai kaidah teknik sipil. Susunan batu tidak diperkuat oleh pondasi maupun adukan yang layak. Semua ini mengarah pada kesimpulan bahwa proyek ini tidak dibangun dengan niat untuk menciptakan bangunan yang bermanfaat, melainkan dengan semangat menghabiskan anggaran secepat mungkin. Dugaan kuatnya, proyek dikerjakan dengan orientasi pemotongan biaya dan keuntungan sepihak dari oknum tertentu.
Jika tidak segera ditindak, proyek TPT Desa Lawe Pinis berpotensi menjadi pintu masuk bagi kerusakan yang lebih besar dalam sistem pengelolaan Dana Desa di Aceh Tenggara. Warga meminta kejelasan, LSM sudah bersuara, dan fakta-fakta telah tersaji. Kini saatnya aparat penegak hukum turun tangan.
Atas kondisi tersebut, diduga telah terjadi pelanggaran terhadap Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan… yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun serta denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp1 miliar.”
Selain itu, proyek ini juga melanggar Permendesa PDTT Nomor 13 Tahun 2023 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa, khususnya pada prinsip penggunaan Dana Desa untuk kegiatan yang bermanfaat, berkelanjutan, dan sesuai kaidah teknis pekerjaan. Pekerjaan tanpa pondasi jelas tidak memenuhi prinsip tersebut dan menjadi bentuk pengabaian terhadap aturan yang berlaku.
Laporan: Salihan Beruh
Editor: Tim Investigasi