Makassar – Ancaman terhadap jurnalis kembali terjadi, kali ini datang dari seorang pria yang diduga kuat terlibat dalam skandal penyelewengan distribusi bahan bakar bersubsidi. Awal, nama yang tak asing dalam lingkaran distribusi BBM di Sulawesi Selatan, menunjukkan watak aslinya yang represif dan anti-demokrasi setelah diberitakan terlibat dalam pengisian ilegal solar bersubsidi. Dalam sebuah pernyataan yang layak disebut sebagai teror terhadap kebebasan pers, Awal menyatakan secara terbuka bahwa dirinya siap menggantung wartawan yang berani memberitakan aktivitas perusahaannya, PT Goi Group.
Ucapan itu bukan sekadar omong kosong emosional, tetapi bentuk nyata dari intimidasi terhadap jurnalis dan upaya membungkam media. Ancaman tersebut dilontarkan tidak lama setelah pemberitaan mengenai penggerebekan sebuah gudang di Pinrang yang digunakan untuk menyimpan dan mengalirkan solar bersubsidi jenis bio solar. Gudang itu milik Sukri, namun di lokasi ditemukan mobil tangki bertuliskan PT Goi Group (SMS), dalam kondisi kosong, bersama barang bukti berupa tandon dan truk pengangkut solar. Sumber di lokasi membenarkan bahwa solar tersebut baru saja diisi oleh perusahaan milik Awal.
Ketika dikonfirmasi, Awal menyangkal semua tuduhan, namun data dan pengakuan para pelansir justru memperkuat dugaan keterlibatan perusahaan miliknya. Alih-alih memberikan klarifikasi yang kooperatif, ia justru mengancam keselamatan wartawan yang menjalankan tugas konstitusionalnya: mengungkap fakta demi kepentingan publik. “Siapa yang berani beritakan saya atau perusahaan saya, saya akan gantung sekarang juga,” ujar Awal kepada salah satu wartawan di Makassar dengan nada penuh amarah.
Pernyataan itu bukan sekadar pelanggaran etika, tapi jelas merupakan tindakan pidana yang mengancam kemerdekaan pers sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 4 ayat (3) menegaskan bahwa “Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.” Ancaman seperti yang dilontarkan Awal secara langsung bertentangan dengan prinsip tersebut. Bahkan dalam Pasal 18 ayat (1), disebutkan bahwa “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan kemerdekaan pers, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.”
Ancaman ini juga memenuhi unsur Pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan dan intimidasi, serta Pasal 29 jo. Pasal 45B UU ITE, jika ancaman tersebut dilakukan melalui media elektronik. Negara, dalam hal ini aparat kepolisian, tak boleh diam. Diam berarti tunduk pada ketakutan dan membiarkan hukum diinjak oleh mereka yang merasa berkuasa karena uang dan jaringan.
Organisasi profesi seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), serta lembaga pengawas kebebasan pers lainnya sudah menyuarakan desakan agar Kapolda Sulsel segera mengambil langkah hukum tegas terhadap Awal. Wartawan bukan musuh negara. Mereka bukan penjahat. Justru merekalah mata dan telinga publik atas berbagai penyimpangan yang selama ini tersembunyi di balik kekuasaan dan uang.
Kasus Awal adalah cermin betapa kronisnya kerusakan distribusi BBM bersubsidi di negeri ini. Solar murah yang seharusnya diperuntukkan bagi nelayan, petani, dan pelaku usaha mikro, justru dilahap oleh mafia-mafia rakus yang berlindung di balik nama perusahaan dan jaringan industri. Mereka menjarah uang negara secara sistematis, lalu mengancam siapa pun yang mencoba membuka kedok mereka.
Skandal ini adalah ujian nyata bagi negara: apakah hukum hanya tajam ke bawah atau masih sanggup berdiri tegak di hadapan penguasa modal. Jika ancaman Awal tidak ditindak, maka jangan salahkan publik jika menganggap bahwa hukum di negeri ini sudah resmi ditaklukkan oleh preman berdasi. Ini bukan sekadar soal satu orang wartawan, tapi soal keselamatan demokrasi dan keutuhan republik. (TIM)