Banda Aceh – Markas Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dijaga ketat, berada tidak jauh dari balai desa, dengan setidaknya 20 kombatan bersenjata yang siaga menjaga wilayah. Di tengah penjagaan itu, Tgk. Abdullah Syafi’i menerima Maskur Abdullah, koresponden BBC Siaran Indonesia, untuk melaporkan perkembangan situasi di Aceh. Suara Tgk. Abdullah tenang dan bersahabat, namun tatapannya dalam, berlapis sejarah konflik Aceh.
Maskur duduk di sebuah rumah panggung di lereng bukit, jantung wilayah GAM. Angin gunung menembus dinding balai, sementara puluhan pria bersenjata terus siaga di luar. Bagi Maskur, momen itu terasa seperti penanda akhir perjalanan panjangnya meliput konflik, sekaligus awal dari risiko baru.
Sejak 1998, Maskur terbiasa menembus wilayah “panas” di Aceh Timur, Lhokseumawe, dan Pidie. Rute darat dari Medan ke Banda Aceh nyaris menjadi perjalanan mingguan. Ia memahami risiko yang mengintai jurnalis di medan konflik. Banyak media nasional dan lokal tertekan militer, sehingga berita dari medan perang seringkali condong pada sudut pandang aparat. Di hutan, para panglima GAM meyakini bahwa wartawan Indonesia bisa menjadi corong lawan.
Tgk. Abdullah Syafi’i enggan ditemui jurnalis lokal, namun berbeda bagi BBC. Maskur dianggap sebagai wartawan netral, berita yang disiarkannya tidak berpihak, sehingga panglima GAM bersedia memberikan akses. Kepercayaan itu terbentuk setelah Maskur terus menunjukkan profesionalisme dan sikap hati-hati dalam melaporkan kondisi di lapangan.
Agustus 1999, Maskur kembali ditugaskan ke Pidie untuk meliput pengungsi di halaman Masjid Abu Beureueh, Beureunuen. Saat bekerja, dua pria berpakaian preman menghampirinya. “Abang Maskur ya? Dari BBC London?” tanya mereka. Maskur menatap balik dan bertanya, “Anda dari mana?” Kedua pria itu menyampaikan salam dari Panglima Tgk. Abdullah Syafi’i dan mengundang Maskur untuk wawancara.
Maskur menahan jawaban dan berkonsultasi terlebih dahulu dengan kantor BBC di London. Malam itu, ia menelepon Menuk Suwondo, Kepala BBC Siaran Indonesia, yang memberi arahan singkat namun tegas: “Pastikan Anda aman. Kalau meragukan, batalkan. Nyawa Anda lebih berharga dari berita.” Arahan ini menegaskan risiko besar yang harus dihadapi jurnalis di medan konflik Aceh, sekaligus menunjukkan bagaimana profesionalisme dan kehati-hatian menjadi kunci untuk melaporkan fakta di tengah perang dan ketegangan bersenjata. (*)