Aceh Tamiang – Meliput konflik bersenjata di Aceh pada awal 2000-an berarti berada di garis tipis antara dua kekuatan yang saling bertentangan, yaitu aparat TNI/Polri dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Di satu sisi, TNI berusaha menegaskan keberhasilan operasi penumpasan, sementara di sisi lain, GAM ingin mempertahankan eksistensi dan pengaruhnya. Di tengah pusaran itu, masyarakat sipil menjadi pihak yang paling banyak menanggung luka, baik secara fisik maupun psikologis.
Imran, mantan jurnalis yang kini menjabat sebagai Ketua Bawaslu Aceh Tamiang, masih menyimpan kenangan jelas dari masa-masa tersebut. “Kalau bicara konflik bersenjata di Aceh, yang terlintas adalah wajah-wajah orang biasa yang harus bertahan hidup di antara baku tembak,” kata Imran kepada AJNN, Kamis (14/08/2025).
Imran memulai karier jurnalistiknya pada 2003, setelah sebelumnya aktif di organisasi mahasiswa dan lembaga swadaya masyarakat. Ketertarikannya muncul dari membaca berita-berita di acehkita.com, media alternatif yang kerap mengangkat kisah pilu korban perang. “Berita-beritanya menggambarkan penderitaan masyarakat. Saya mencoba melamar, diterima, dan mulai menulis,” kenangnya. Untuk keamanan, redaksi menggunakan nama samaran bagi penulis dan narasumber, namun ancaman tetap mengintai setiap liputan.
Bagi Imran, tugasnya bukan sekadar melaporkan baku tembak. Ia ingin memastikan fakta sampai ke publik bahwa di balik statistik korban, ada manusia dengan cerita, kehilangan, dan harapan. Ia mengisahkan berbagai peristiwa yang ia liput, mulai dari seorang kombatan yang menghentikan mobil jurnalis lalu menjadi buruan tentara, hingga seorang remaja yang mirip kombatan itu malah menjadi korban, padahal hanya sedang menjaga burung di sawah.
Imran juga mengenang pasangan suami istri yang menjadi korban karena gubuk kebun mereka dipakai GAM sebagai tempat berlindung atau kegiatan operasi, serta anak-anak yang menyaksikan ayah mereka ditembak orang tak dikenal saat pulang menjajakan nasi bungkus. Bahkan kisah cinta antara seorang perempuan desa dan anggota polisi harus kandas karena ancaman tragedi yang membayang di sekitar mereka.
“Banyak warga yang harus mengungsikan anak-anak dan menyimpan ijazah di kota, karena takut rumah mereka dibakar setelah terjadi kontak senjata,” ujar Imran. Pengalaman-pengalaman ini, menurutnya, menunjukkan bahwa konflik bersenjata bukan hanya persoalan strategi dan politik, tetapi juga tragedi kemanusiaan yang menyentuh kehidupan sehari-hari warga sipil. (*)