BANDA ACEH | Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem mendorong pemerintah pusat menuntaskan seluruh butir kesepakatan dalam Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki yang ditandatangani Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia pada 15 Agustus 2005. Dalam momentum 20 tahun perdamaian Aceh, Mualem juga mewacanakan pembentukan dana abadi senilai Rp 1,5 triliun khusus untuk mantan kombatan GAM.
Pernyataan itu disampaikan Mualem di Gedung Balai Meuseuraya Aceh (BMA), Banda Aceh, Jumat (15/8/2025), saat menghadiri peringatan dua dekade penandatanganan MoU damai. Acara yang dihadiri pejabat daerah, tokoh masyarakat, dan tamu undangan dari berbagai negara itu menjadi ajang refleksi perjalanan damai Aceh pasca-konflik. Dalam rangkaian acara, Mualem bersama Wali Nanggroe Aceh Teungku Malik Mahmud Al-Haytar menyerahkan sertifikat tanah kepada keluarga mantan kombatan dan memberikan santunan kepada anak yatim. Pelepasan burung merpati putih juga dilakukan sebagai simbol komitmen menjaga perdamaian.
“Kita harapkan pemerintah pusat lebih fokus pada perdamaian yang belum selesai, mohon diselesaikan,” ujar Mualem dalam pidatonya. Menurutnya, sekitar 30% hingga 35% poin kesepakatan dalam MoU Helsinki belum dijalankan sepenuhnya. Ia menilai perlunya pertemuan serius antara Pemerintah Indonesia, Pemerintah Aceh, dan Crisis Management Initiative (CMI)—lembaga yang memfasilitasi proses damai—untuk membahas penyelesaian poin-poin yang masih tertunda.
Salah satu agenda yang kini menjadi sorotan adalah rencana pengajuan dana abadi sebesar Rp 1 triliun hingga Rp 1,5 triliun untuk mantan kombatan GAM. Dana tersebut diusulkan berada di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) dan akan diajukan langsung kepada Presiden Prabowo Subianto setelah 17 Agustus 2025. “Kita akan menjumpai Pak Presiden, kita akan ajukan, karena mengingat sudah 20 tahun perdamaian Aceh, kita percepat supaya dana abadi ini dapat diberikan kepada mantan kombatan GAM,” kata Mualem.
Wacana ini menambah daftar tuntutan penyelesaian MoU yang selama dua dekade terakhir masih menyisakan pekerjaan rumah. Meski perdamaian Aceh diakui sebagai salah satu capaian besar dalam sejarah politik Indonesia modern, Mualem menegaskan komitmen semua pihak untuk menuntaskan butir-butir kesepakatan adalah kunci menjaga stabilitas dan kepercayaan di Tanah Rencong. (*)