BANDA ACEH | Juru Bicara Komite Peralihan Aceh (KPA) Pusat, Zakaria M. Yacob, atau akrab disapa Bang Jack, menegaskan bahwa dua dekade perdamaian Aceh harus menjadi pilar keadilan dan kesejahteraan yang merata. Hal itu ia sampaikan dalam peringatan 20 tahun damai Aceh yang digelar oleh Badan Reintegrasi Aceh (BRA) di Hotel Hermes, Banda Aceh, Kamis (14/8/2025). Peringatan ini menjadi ajang refleksi bersama seluruh pihak yang terlibat dalam proses perdamaian, sekaligus mengingatkan kembali betapa mahalnya harga yang telah dibayar untuk mencapai kesepakatan yang mengakhiri konflik panjang di Aceh.
Dalam sambutannya, Bang Jack mengingatkan bahwa Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki yang ditandatangani pada 2005 bukan hanya sebuah catatan sejarah, melainkan amanah besar yang lahir dari pengorbanan rakyat Aceh. Ia menyebut MoU Helsinki sebagai janji damai yang ditandai dengan darah, air mata, dan keruntuhan keluarga-keluarga akibat lebih dari tiga dekade konflik bersenjata. “Kita pernah merasakan gelapnya masa perang. Banyak nyawa melayang, banyak keluarga yang hancur. Damai ini adalah amanah rakyat, jadi kita tidak boleh lengah. MoU Helsinki adalah janji yang harus kita wujudkan sepenuhnya,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah menunaikan komitmennya dengan melucuti persenjataan, namun di pihak pemerintah pusat masih terdapat sejumlah butir kesepakatan yang belum sepenuhnya terealisasi. Ia mengajak masyarakat nasional maupun internasional untuk membantu mewujudkan damai dan kesejahteraan yang berkelanjutan di Aceh. “Aceh butuh investasi, butuh imej baik secara nasional maupun internasional. Oleh karena itu kami butuh uluran tangan untuk membantu mendatangkan investasi maupun kampanye positif bagi Aceh,” serunya.
Acara yang mengangkat tema International Discussion and Commemoration: 20 Years of the Helsinki MoU – Successes and Challenges itu berlangsung penuh emosi. Para peserta tidak hanya merayakan keberhasilan dua dekade perdamaian, tetapi juga menyoroti tantangan yang masih tersisa, terutama soal kesenjangan kesejahteraan yang dirasakan oleh mantan kombatan, korban konflik, dan masyarakat Aceh pada umumnya.
Sejumlah tokoh penting turut hadir, termasuk Minna Kukkonen Kalender dari Crisis Management Initiative (CMI), lembaga internasional yang berperan penting sebagai mediator perundingan damai di Helsinki. Kehadiran tokoh-tokoh internasional menjadi bukti bahwa perdamaian Aceh masih mendapat perhatian dunia. Diskusi dibagi dalam dua panel utama. Panel pertama dimoderatori oleh Dr. Sofyan A. Djalil dan menghadirkan Mr. Peter Feith, mantan Kepala Misi Monitoring Aceh, Duta Besar Belanda, Duta Besar Uni Eropa untuk Asia, Juha Christensen dari Asian Peace and Reconciliation Council, Prof. Jacques Bertrand, Teuku Kamaruzzaman, serta Rektor Universitas Syiah Kuala. Sementara itu, panel kedua dipandu oleh Dr. Fachry Aly dengan menghadirkan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Dr. Scott Guggenheim dari Universitas Georgetown, Alanna L. Simpson dari Bank Dunia, Tgk Amni Bin Ahmad Marzuki, Rektor UIN Ar-Raniry, dan Chalida Tajaroensuk dari People’s Empowerment Foundation Thailand.
Menurut Bang Jack, forum semacam ini harus menjadi ruang evaluasi yang jujur, transparan, dan menyeluruh. Ia mengingatkan bahwa dua puluh tahun bukanlah waktu yang singkat dan sudah seharusnya setiap poin dalam MoU dituntaskan. Ia menegaskan bahwa Aceh tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri tanpa dukungan penuh pemerintah pusat. “Dua puluh tahun adalah waktu yang panjang. Jangan biarkan ada poin yang dilupakan. Aceh tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri tanpa dukungan penuh dari pemerintah pusat,” katanya menekankan.
Bang Jack menutup pernyataannya dengan mengajak seluruh elemen, mulai dari masyarakat, partai politik lokal, lembaga negara, hingga komunitas internasional, untuk terus mengawal implementasi MoU Helsinki. Baginya, perdamaian bukan hanya tentang penghentian konflik, melainkan harus menghadirkan keadilan dan kesejahteraan yang merata. “Damai ini harus menghadirkan keadilan dan kesejahteraan yang merata. Jika tidak, semangat perdamaian yang telah kita rawat selama dua dekade akan kehilangan maknanya,” pungkasnya.
Peringatan dua dekade perdamaian ini bukan hanya mengenang perjalanan panjang Aceh menuju damai, tetapi juga menjadi pengingat bahwa kesepakatan Helsinki harus terus dijaga sebagai landasan utama bagi masa depan Aceh yang lebih adil, sejahtera, dan bermartabat. (*)