Banda Aceh – Dua puluh tahun setelah penandatanganan Perjanjian Damai Aceh di Helsinki pada 15 Agustus 2005, isu pemenuhan hak korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) kembali mengemuka. Sebanyak 13 organisasi masyarakat sipil dari berbagai negara di Asia menyatakan solidaritas penuh kepada rakyat Aceh dan mendesak Pemerintah Indonesia bersama Pemerintah Aceh segera menuntaskan janji-janji perdamaian, terutama terkait hak-hak korban.
Dalam pernyataan bersama yang disampaikan di Banda Aceh, Jumat (15/8/2025), koalisi tersebut menegaskan bahwa meski perdamaian relatif terjaga selama dua dekade terakhir, masih banyak agenda yang tertunda. Mereka menyoroti rekomendasi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh yang belum sepenuhnya dijalankan serta minimnya penuntutan terhadap pelaku pelanggaran HAM berat di masa konflik.
“Kami menyerukan pelaksanaan penuh rekomendasi KKR Aceh, pemberian reparasi yang komprehensif, serta akuntabilitas bagi pelanggaran HAM,” kata Inocencio Xavier dari Centro Nacional Chega (CNC) Timor Leste dalam keterangan tertulis, Sabtu (16/8/2025).
Selain menekankan pentingnya keadilan bagi korban, koalisi ini juga mendorong agar ruang politik Aceh dimanfaatkan untuk memperkuat demokrasi, membangun kemandirian ekonomi, dan memastikan pengelolaan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan.
“Tak ada perdamaian tanpa keadilan, tak ada keadilan tanpa akuntabilitas, tak ada rekonsiliasi tanpa kebenaran,” bunyi pernyataan bersama tersebut.
Solidaritas lintas negara ini tak hanya ditujukan untuk Aceh, tetapi juga untuk perjuangan perdamaian di kawasan lain yang masih bergulat dengan konflik berkepanjangan. Mereka menyatakan dukungan bagi Bangsamoro di Filipina Selatan, Myanmar (termasuk Rohingya), Nepal, Patani di Thailand Selatan, Palestina, Sri Lanka, hingga Papua Barat.
Sebanyak 13 organisasi yang hadir di Banda Aceh antara lain Duay Djay (Thailand Selatan), KontraS Aceh, Advocacy Forum (Nepal), Asia Justice And Rights (AJAR), Katahati Institute, KontraS Jakarta, Network for Human Rights Documentation (Burma), CNC (Timor Leste), Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP), Initiatives for International Dialogue (IID, Filipina), Cross Cultural Foundation (Thailand), Assosiasaun Chega Ba Ita (AcBit, Timor Leste), serta Sumithra Sellathamby, mantan Komisioner Komisi Reparasi Sri Lanka.
Dengan berkumpul di Aceh tepat pada peringatan 20 tahun perjanjian damai, koalisi ini ingin mengingatkan dunia bahwa perdamaian bukanlah sekadar berakhirnya konflik bersenjata, melainkan juga pemulihan martabat korban, keadilan bagi keluarga yang kehilangan, dan adanya mekanisme akuntabilitas yang nyata. (*)