Penulis : Fadhli Irman (Pemerhati Sosial Politik, Koordinator Gerakan Pemuda Negeri Pala – GerPALA)
Oscar Ameringer pernah berujar, “Politik adalah seni lembut untuk mendapatkan suara dari orang miskin dan dana kampanye dari orang kaya, dengan berjanji untuk melindungi satu sama lain.” Sementara Will Rogers menyebutkan, “Politik itu mahal, bahkan untuk kalah pun kita harus mengeluarkan banyak uang.” Kedua kalimat itu bukan sekadar satire, melainkan potret telanjang demokrasi Indonesia hari ini.
Sistem politik kita kini terjerat ongkos yang kian mencekik. Riset LIPI mencatat, rata-rata biaya kampanye calon anggota DPR RI mencapai Rp 4,5 miliar. Indef bahkan menghitung ongkosnya bisa menembus Rp 15-20 miliar. Untuk DPRD, biayanya berkisar Rp 200 juta hingga Rp 1,5 miliar. Sedangkan untuk pilkada kepala daerah, Kementerian Dalam Negeri mengungkap angka yang lebih fantastis: Rp 60-100 miliar untuk bupati/wali kota, dan Rp 200-500 miliar untuk gubernur. Total anggaran pilkada serentak 2024 bahkan mencapai Rp 37,52 triliun, dinilai sebagai sebuah rekor yang menyedihkan.
Angka-angka ini bukan sekadar isu. Muslim Aiyub, politisi asal Aceh pada rapat parlemen, pernah jujur mengakui besarnya biaya politik untuk duduk di Senayan, hingga ia meminta agar masa jabatan DPR diperpanjang agar bisa mengembalikan modal. Pengakuan jujur ini menegaskan kenyataan bahwa demokrasi kita telah bergeser menjadi arena bakar uang. Karena tak semua politisi memiliki modal, datanglah dukungan dari pengusaha, rentenir, Bandar narkotika bahkan mafia yang berkepentingan. Begitu menang, hukum dagang berlaku, modal harus kembali dengan keuntungan berlipat. Dari situlah lahir proyek yang diarahkan, izin yang dipermudah, bisnis hitam yang harus mendapat karpet merah, hingga kebijakan yang berpihak pada sponsor, bukan rakyat. Politik kehilangan etikanya, berubah menjadi mesin pengembalian investasi bahkan lebih menyedihkan menjadi arena berjudi.
Namun, menyalahkan politisi saja tak cukup. Rakyat juga ikut bertanggung jawab. Dengan iming-iming Rp 100 ribu, Rp 200 ribu, bahkan Rp 500ribu per kepala suara dijual begitu saja. Alasannya sederhana, hari pemilu berarti tak bisa bekerja, sementara kebutuhan perut tetap mendesak. Ironisnya, bahkan rakyat yang memilih tanpa uang pun sering kecewa, karena wakil terpilih tak lebih baik. Maka terbentuklah siklus putus asa, dengan uang atau tanpa uang, hasilnya sama-sama mengecewakan.
Inilah lingkaran setan demokrasi kita. Politisi yang jujur nyaris tak punya peluang. Rakyat yang menolak uang dianggap aneh. Dan sistem pembiayaan politik dibiarkan tanpa perbaikan. Selama suara masih bisa dibeli, politisi akan terus merasa wajib membelinya. Selama kebutuhan jangka pendek dianggap lebih penting daripada masa depan, demokrasi akan terus digadaikan dengan amplop.
Maka tugas bangsa ini bukan hanya melahirkan pemimpin yang bersih, tetapi juga rakyat yang berani berkata “Suara saya tidak bisa dibeli.” Tanpa keberanian itu, jangan kaget jika lima tahun sekali kita hanya sedang menggadaikan masa depan bangsa dengan harga selembar amplop.