Oleh : Henneri, SH (Pemuda Aceh Selatan, Alumni Ilmu Hukum USK)
Dalam hidup, membalas budi adalah kewajaran. Kepala daerah yang mendengar tim pemenangnya, memberi sedikit perhatian, itu hal yang lumrah. Mereka adalah orang-orang yang rela berkeringat di siang bolong, menahan serangan lawan, dan berjaga di saat suara dipertaruhkan. Wajar jika sesekali mereka dipersilakan duduk lebih dekat ke meja makan.
Namun, politik di negeri kita sering menghadirkan sandiwara. Yang kalah pun ingin diperlakukan bak pemenang. Bayangkan sebuah pesta pernikahan, tamu yang tak diundang masuk dengan langkah percaya diri, mengambil kursi paling depan, bahkan meminta jatah nasi lebih banyak dari keluarga pengantin. Itulah wajah sebagian tim politik yang gagal, tapi tampil seolah tuan rumah.
Di beberapa daerah, termasuk Aceh Selatan, cerita ini kerap terjadi. Ada yang kalah namun tiba-tiba mengaku paling berjasa. Dengan wajah penuh senyum, ia menempel ke pemenang, berbisik manis seolah tanpa dirinya kemenangan tak mungkin diraih. Padahal catatan sejarah jelas, dia ada di barisan yang tersungkur. Tapi di panggung politik, kenyataan bisa dibolak-balik, asal wajah cukup tebal, klaim bisa dipoles seperti medali emas imitasi.
Lebih jauh lagi, ada tim yang kalah namun tetap rajin meniupkan opini busuk. Mereka mengatur narasi, memprovokasi, bahkan mencoba menggembosi kebijakan yang dianggap tak sesuai seleranya. Ibarat penonton bioskop yang gagal membeli tiket, tapi tetap memaksa masuk dari pintu darurat, lalu protes keras jika film yang diputar tidak sesuai selera mereka.
Dalam realita kisah politik, pemenang sering terjebak untuk melayani tamu tak diundang. Alih-alih fokus pada rakyat yang memberi amanah, energi habis untuk meredam intrik rival yang kalah. Dan rakyat? Mereka lagi-lagi jadi penonton paling setia yang duduk di bangku belakang, menonton elite ribut memperebutkan kursi, sambil bertanya dalam hati “Bukankah pesta ini mestinya untuk kami?”
Maka jangan heran, dalam politik Indonesia, tak ada yang benar-benar kalah. Yang kalah pun bisa berdiri di podium kemenangan, asal cukup pandai bersandiwara. Demokrasi akhirnya berubah jadi pesta yang riuh, tapi tamu yang paling layak justru tak pernah diajak menari yaitu rakyat sendiri.