Banda Aceh – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menemukan kejanggalan serius terkait pengelolaan aset di lingkungan Perwakilan Aceh. Sebanyak 28 unit laptop atau notebook dengan total nilai Rp752,7 juta tercatat tidak diketahui keberadaannya, termasuk satu unit notebook yang dibeli pada tahun 2008 dengan harga mencengangkan, mencapai Rp350 juta.
Temuan ini diungkap dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Sistem Pengendalian Intern dan Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan yang diterbitkan BPK dengan nomor LHP-BPK Aceh I1.A/LHP/XVII.BAC/05/2025 pada 21 Mei 2025. Laporan tersebut kemudian dipublikasikan ke publik melalui Ajnn.net pada 30 Agustus 2025.
Dalam dokumen itu disebutkan, Sekretariat Daerah mencatat kepemilikan 138 unit laptop/notebook dalam Kartu Inventaris Barang (KiB). Namun, tidak ada keterangan siapa pengguna barang-barang tersebut. Kondisi itu membuat pengawasan dan penelusuran aset menjadi lemah, sehingga membuka celah hilangnya barang elektronik yang seharusnya masih berada dalam daftar aset pemerintah.
Dari 28 unit laptop/notebook yang raib, merek yang dominan adalah Acer, Samsung, Asus, Apple, Dell, hingga Toshiba, dengan rentang pembelian antara 2007 sampai 2021. BPK menegaskan nilai barang yang hilang sesuai dengan pencatatan resmi, yakni Rp752.700.100. Salah satu catatan yang paling menonjol adalah pembelian sebuah notebook Acer pada tahun 2008 dengan harga Rp350.350.000, yang disebut sebagai notebook termahal dalam daftar. Ada pula laptop Toshiba seharga Rp62,5 juta pada 2007, serta Dell senilai Rp42,5 juta pada 2012.
BPK menyebut hilangnya aset ini berakar pada lemahnya pengawasan dan pengelolaan barang milik daerah (BMD). Sekretaris Daerah dinilai tidak cermat mengawasi penatausahaan aset, Kepala BPKD gagal melakukan koordinasi inventarisasi dan bahkan melanggar aturan pinjam pakai kendaraan dinas, sedangkan para kepala SKPK terkait tidak menjaga maupun mencatat aset dengan baik. Selain itu, Kepala Bidang Pengelolaan Aset Daerah juga dianggap gagal membantu proses pengawasan.
Akibat kelalaian itu, keputusan pengadaan barang menjadi tidak tepat, aset berpotensi hilang, bahkan rawan dikuasai pihak lain tanpa mekanisme pertanggungjawaban. “Kerugian nyata belum dihitung, tapi potensi kehilangan barang-barang ini jelas membahayakan tata kelola aset daerah,” bunyi salah satu bagian laporan tersebut.
Sebagai perbandingan, APBK Kabupaten Nagan Raya tahun 2024 tercatat sebesar Rp1,6 triliun dengan porsi belanja modal mencapai ratusan miliar rupiah. Anggaran sebesar itu menegaskan betapa pentingnya pengelolaan aset daerah yang transparan dan akuntabel, sebab setiap rupiah yang dibelanjakan dari APBK berpotensi menjadi kerugian nyata bila barang yang dibeli tidak terpantau keberadaannya.
Hingga kini, pengurus barang di lingkungan Sekretariat Daerah masih menelusuri keberadaan laptop-laptop tersebut. Belum ada kepastian apakah perangkat itu benar-benar hilang, rusak, atau masih dikuasai oknum tertentu. Publik menyoroti temuan ini setelah infografik mengenai daftar laptop hilang dipublikasikan di Ajnn.net, yang merinci merek, tahun pembelian, serta harga fantastis perangkat yang diduga raib.
Kasus ini menambah daftar panjang persoalan aset daerah di Aceh yang sebelumnya juga kerap menjadi catatan BPK. Dengan sorotan publik yang semakin besar, masyarakat menunggu tindak lanjut konkret dari pemerintah daerah untuk memastikan aset yang dibeli dengan uang rakyat tidak lenyap begitu saja. (*)