Bireuen – Polemik pernyataan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Zulfadhli, dalam aksi mahasiswa 1 September lalu, terus memicu perdebatan di kalangan masyarakat dan tokoh politik Aceh. Desakan Ketua Pembela Tanah Air (PETA), Teuku Sukandi, agar Gubernur Aceh mencopot Zulfadhli dinilai sebagian pihak memiliki motivasi politik terselubung.
Ketua Jasa Kabupaten Bireuen, Tgk Mauliadi, menilai desakan tersebut bukan semata untuk menjaga konstitusi. Menurutnya, upaya menjatuhkan Ketua DPRA lebih sarat kepentingan politik dibandingkan kepentingan rakyat Aceh.
“Ucapan itu jelas konteksnya spontan dan tidak bisa ditarik seolah-olah sebagai sikap resmi lembaga. Justru kami melihat desakan PETA untuk mencopot Ketua DPRA lebih sarat dengan kepentingan politik ketimbang murni menjaga konstitusi,” ujarnya, Rabu (3/9).
Zulfadhli sebelumnya sempat membuat pernyataan kontroversial saat aksi mahasiswa di Banda Aceh dengan mengatakan, “Kalau mau tambah poin satu lagi, Aceh pisah dari pusat, biar aku teken.” Pernyataan ini menuai kecaman dari berbagai pihak, termasuk PETA, yang menilai sikap Ketua DPRA emosional dan inkonstitusional.
Tgk Mauliadi menegaskan, langkah politik yang diarahkan untuk menjatuhkan Zulfadhli berpotensi merusak marwah lembaga legislatif Aceh. “Selama ini Zulfadhli dikenal vokal memperjuangkan kepentingan rakyat Aceh. Hal itu bisa saja mengganggu pihak-pihak yang tidak sejalan dengan sikap politiknya,” katanya.
Ia juga mengingatkan, DPRA adalah lembaga representasi rakyat Aceh sehingga tidak boleh dijadikan ajang manuver politik kelompok tertentu. “Yang terpenting adalah fokus pada aspirasi rakyat Aceh, bukan pada upaya saling melemahkan,” tambahnya.
Tgk Mauliadi menyerukan seluruh elemen masyarakat untuk bersikap bijak dalam menyikapi dinamika politik dan tidak membiarkan isu ini dimanfaatkan segelintir pihak. “Perdamaian dan marwah DPRA harus tetap kita jaga bersama,” pungkasnya. (*)