Seunuddon |detikaceh.com. Realitas – Gelombang desakan muncul dari kalangan nelayan pesisir Kecamatan Seunuddon, khususnya Desa Ulee Rubek Timu, terhadap keberadaan Panglima Laot Lhok Seunuddon. Mereka menuding sang pemangku adat kelautan telah lalai, bahkan abai, dalam menjalankan tanggung jawab adat ketika musibah menimpa salah seorang nelayan setempat, Rusli, yang hilang di laut sejak 30 Agustus 2025.
Para nelayan menilai, sikap Panglima Laot Lhok Seunuddon yang seakan melepaskan tangan atas laporan kehilangan tersebut, merupakan pelanggaran serius terhadap adat istiadat laot. Oleh karena itu, mereka mendesak Tgk Hamdani selaku Panglima Laot Kabupaten Aceh Utara untuk segera mencopot jabatan Panglima Laot Lhok Seunuddon.
Kronologi Musibah di Laut Musibah bermula pada 30 Agustus 2025, ketika Rusli, salah seorang nelayan Ulee Rubek Timu, hilang saat melaut dan terombang-ambing hingga perairan Thailand. Selama lima hari penuh, keluarga dan sesama nelayan dilanda keresahan. Namun, hingga laporan resmi dilayangkan pada 2 September 2025, respon Panglima Laot Lhok disebut nyaris tidak ada.
Menurut keterangan sejumlah tekong, pihaknya telah meminta bantuan adat untuk menggerakkan mekanisme pencarian sesuai aturan laot, tetapi jawaban yang diterima sangat mengecewakan. Panglima Laot Lhok justru beralasan tidak memiliki SK resmi maupun Kas Nelayan untuk menjalankan tugas adat.
Pawang Hasan Angkat Bicara salah satu tokoh nelayan yang disegani, Hasan Sulaiman, yang sudah aktif melaut sejak tahun 1976, dengan tegas menyatakan kekecewaannya.
“Panglima Laot Lhok Seunuddon jelas-jelas melanggar adat istiadat laot. Kami sudah melapor, tapi beliau menjawab dengan enteng: *‘Bagaimana saya bisa bekerja maksimal, SK saya belum ada, kas nelayan juga tidak ada.’ Jawaban ini tidak bisa diterima. Ini menyangkut nyawa manusia, bukan soal uang kas atau administrasi,” tegas Hasan dengan nada emosional di hadapan awak media pada Senin, 15 September 2025.
Hasan menambahkan, sesuai adat laot, setiap Panglima yang telah ditunjuk nelayan berkewajiban penuh untuk menanggapi laporan musibah di laut, termasuk menyediakan biaya operasional pencarian setidaknya untuk tiga hari pertama.
“Tidak ada alasan apapun. Begitu terpilih, Panglima Laot harus bertanggung jawab penuh. Kalau tidak sanggup, sebaiknya dicopot saja,” lanjut Hasan.
Desakan Pencopotan dalam pernyataannya, Hasan Sulaiman secara terang-terangan meminta Panglima Laot Kabupaten Aceh Utara, Tgk Hamdani, untuk segera mengambil tindakan tegas.
“Kami nelayan Ulee Rubek Timu menolak Panglima Laot Lhok Seunuddon yang sekarang. Beliau telah gagal, bahkan mencederai adat laot itu sendiri. Saya mendesak Panglima Laot Kabupaten segera mencopot jabatannya,” kata Hasan.
Ironisnya, proses pemulangan Rusli yang akhirnya ditemukan di perairan Thailand justru lebih banyak ditangani oleh aparatur desa ketimbang Panglima Laot. Geusyik Ulee Rubek Timu bersama perangkat gampong berinisiatif mengurus seluruh prosedur mulai dari Kedutaan Besar RI di Songkla, Thailand, hingga pemulangan melalui Phuket City ke Bandara Kualanamu, Medan.
Geusyik dan aparat desa bahkan menjemput langsung Rusli hingga ke kampung halaman, lalu menggelar acara peusijuek di sela-sela MTQ Ulee Rubek Timu pada Minggu malam, 13 September 2025.
“Semua ini sebenarnya tanggung jawab Panglima Laot, tapi yang bergerak justru Geusyik dan aparat desa. Ini bukti bahwa Panglima Laot Lhok sudah gagal,” tutup Hasan Sulaiman.
Kasus ini membuka kembali perdebatan mengenai fungsi dan tanggung jawab Panglima Laot sebagai lembaga adat kelautan di Aceh. Bagi para nelayan Seunuddon, adat laot bukan sekadar simbol, melainkan aturan hidup yang menjamin keselamatan dan solidaritas sesama pencari nafkah di laut.
Kini, bola panas ada di tangan Panglima Laot Kabupaten Aceh Utara. Apakah desakan nelayan akan dijawab dengan pencopotan, atau justru dibiarkan menjadi bara konflik di pesisir Seunuddon, waktu yang akan menentukan.
(Muhazir)