Jakarta – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia merilis laporan tahunan tentang situasi kebebasan pers. Dalam laporan berjudul Indonesian Press Freedom Situation Report 2024 yang dipublikasikan 23 Mei 2025, AJI mencatat ada 33 kasus kekerasan terhadap jurnalis dan pekerja media sepanjang tahun 2024.
Dari jumlah tersebut, aparat kepolisian menempati posisi teratas sebagai pelaku kekerasan dengan 19 kasus. Sementara TNI terlibat dalam 1 kasus. AJI juga mencatat warga sipil dan organisasi massa sama-sama menyumbang 17 kasus. Selain itu, ada keterlibatan staf perusahaan (5 kasus), pejabat pemerintah (4 kasus), profesional (4 kasus), pejabat legislatif (2 kasus), pejabat pengadilan (1 kasus), hingga seorang rektor universitas (1 kasus).
Dari sisi bentuk kekerasan, kekerasan fisik mendominasi dengan 19 kasus. Disusul teror dan intimidasi sebanyak 17 kasus, larangan liputan (8 kasus), ancaman (8 kasus), serangan digital (6 kasus), perusakan alat atau data (5 kasus), hingga pemanggilan polisi tanpa dasar hukum jelas (3 kasus). Ada juga catatan serius terkait kekerasan berbasis gender (2 kasus), gugatan perdata (2 kasus), sensor internal redaksi (1 kasus), hingga pembunuhan (1 kasus) yang menjadi bentuk paling ekstrem.
AJI menegaskan bahwa keterlibatan aparat penegak hukum cukup mencolok. Dari total 33 kasus, 20 kasus (sekitar 61 persen) melibatkan polisi dan TNI. “Ini mengkhawatirkan karena aparat yang seharusnya melindungi kebebasan pers justru tercatat sebagai pelaku utama,” kata AJI dalam laporan itu.
Di era digital, ancaman juga datang dalam bentuk serangan maya. Hacking, doxing, hingga pembajakan akun dialami sejumlah jurnalis. AJI menilai tren ini memperlihatkan wajah baru represi pers yang tidak lagi hanya bersifat fisik, melainkan juga merambah ke ruang digital.
Menanggapi temuan tersebut, AJI mendesak aparat penegak hukum bertindak adil dan tidak pandang bulu dalam memproses kasus kekerasan, termasuk jika pelakunya berasal dari institusi kepolisian atau militer. Selain itu, pemerintah diminta lebih serius menjamin keselamatan jurnalis dan memastikan kebebasan pers sebagai bagian dari demokrasi.
AJI juga menekankan bahwa tanpa perlindungan nyata, jurnalis akan terus berada dalam bayang-bayang ancaman ketika menjalankan tugasnya. “Pembiaran terhadap kasus kekerasan akan memperburuk kualitas demokrasi di Indonesia,” tegas laporan tersebut. (*)