Banda Aceh – Polemik politik mencuat di Aceh setelah Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Zulfadhli, menyampaikan usulan kontroversial terkait pemisahan Aceh dari Indonesia. Usulan itu disampaikan dalam aksi unjuk rasa pada 1 September lalu, dan langsung memicu gelombang kritik.
Ketua Pembela Tanah Air (PeTA), Teuku Sukandi, menilai pernyataan tersebut mencederai wibawa lembaga legislatif dan mempermalukan partai pengusung Zulfadhli. Dalam siaran pers yang diterima pada Rabu (3/9/2025), Sukandi meminta Ketua Umum Partai Aceh (PA), Muzakir Manaf alias Mualem, segera mencopot Zulfadhli dari jabatannya.
“Secara etika moral, pernyataan ini tidak layak dan tidak pantas disampaikan oleh Ketua DPRA karena sangat tendensius dan emosional,” kata Sukandi.
Menurut Sukandi, posisi Zulfadhli sebagai Ketua DPRA sekaligus kader Partai Aceh menjadikan dampak pernyataannya tidak bisa dianggap sepele. Ia menilai ucapan itu justru menjadi beban bagi Partai Aceh, yang ketuanya adalah Gubernur Aceh—seorang wakil pemerintah pusat di daerah.
Lebih jauh, Sukandi menyebut usulan pemisahan Aceh dapat dimaknai sebagai bentuk makar terhadap konstitusi. “Kalau kita benturkan dengan pernyataan Presiden tentang makar, maka apa yang beliau ucapkan dapat saja dinilai sebagai makar konstitusi,” ujarnya menegaskan.
Pernyataan Zulfadhli kini menambah panas suhu politik di Aceh. Sebagian pihak menafsirkan ucapan tersebut sebagai luapan kekecewaan terhadap kebijakan pusat, sementara pihak lain khawatir hal itu justru membuka luka lama dan berpotensi mengganggu stabilitas keamanan serta perdamaian pasca perjanjian Helsinki. (*)