Banda Aceh — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh mendesak aparat penegak hukum dan pemerintah menindaklanjuti secara serius temuan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) terkait dugaan setoran uang sebesar Rp360 miliar per tahun dari aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) kepada oknum penegak hukum. WALHI menegaskan bahwa kasus ini harus dibawa hingga ke pengadilan dan tidak cukup hanya diumumkan ke publik.
Direktur WALHI Aceh, Ahmad Shalihin, menyatakan bahwa temuan tersebut merupakan bukti kuat adanya praktik mafia tambang yang telah berlangsung lama di Aceh dan melibatkan banyak pihak.
“Aparat penegak hukum yang terlibat wajib diseret ke pengadilan. Tidak cukup hanya diumumkan, tetapi harus ada langkah nyata dalam bentuk proses hukum yang transparan ke publik,” ujarnya, Minggu (29/9/2025).
Sebelumnya, dalam sidang paripurna yang digelar pada Kamis (25/9), Panitia Khusus (Pansus) Mineral, Batubara, dan Migas DPR Aceh membeberkan adanya 450 titik tambang ilegal yang tersebar di berbagai kabupaten seperti Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Gayo Lues, Aceh Tengah, hingga Pidie. Diperkirakan terdapat sekitar 1.000 unit alat berat (excavator) yang beroperasi aktif di lokasi tersebut.
Setiap unit excavator, menurut laporan Pansus, diwajibkan menyetor uang keamanan sebesar Rp30 juta per bulan kepada oknum penegak hukum di wilayah kerjanya masing-masing. Jika dikalkulasikan, setoran tersebut mencapai sekitar Rp360 miliar per tahun. Temuan ini disebut telah berlangsung cukup lama dan belum pernah disentuh oleh proses penegakan hukum secara menyeluruh.
Shalihin menyebut kondisi ini mencerminkan ketimpangan hukum yang merugikan masyarakat dan lingkungan. Ia menambahkan, selama ini justru pekerja tambang kecil yang menjadi sasaran penindakan, sementara aktor-aktor besar dan penyandang dana tetap bebas.
“Tambang ilegal tidak mungkin berjalan masif tanpa adanya modal besar, peralatan berat, dan jaringan distribusi yang jelas. Maka, polisi harus berani membongkar siapa pemodal, siapa pengendali jaringan, serta siapa yang selama ini menikmati keuntungan dari perusakan hutan dan sungai di Aceh,” katanya.
Menurutnya, kerugian lingkungan jauh lebih besar dari nilai ekonomi yang muncul dalam laporan tersebut. Selain penggunaan merkuri dan sianida yang mencemari sungai, hilangnya tutupan hutan serta sumber air bersih masyarakat menjadi ancaman ekologis jangka panjang.
“Pemerintah tidak boleh hanya berhenti pada isu uang. Kerusakan lingkungan adalah bencana yang harus dipulihkan. Ini bukan sekadar kasus pidana biasa, melainkan juga kasus korupsi yang harus melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menelusuri aliran dana hingga ke pejabat atau politisi yang terlibat,” lanjut Shalihin.
Ia menekankan, jika aparat penegak hukum memang serius, maka saat ini adalah momentum penting untuk membongkar secara menyeluruh praktik tambang ilegal yang telah merajalela di Aceh. Jika temuan hanya berhenti sebagai isu sesaat, lanjutnya, publik akan semakin kehilangan kepercayaan terhadap institusi hukum.
Terkait hal ini, Gubernur Aceh, Muzakir Manaf atau Mualem, telah mengeluarkan ultimatum tegas kepada para pelaku PETI. Ia memberi waktu dua pekan agar seluruh alat berat, termasuk ekskavator, dikeluarkan dari kawasan hutan Aceh.
“Khusus tambang emas ilegal, saya beri waktu, mulai hari ini, seluruh tambang emas ilegal yang memiliki alat berat beko harus segera dikeluarkan dari hutan Aceh. Jika tidak, setelah dua minggu dari saat ini, kita lakukan langkah tegas,” ujar Mualem dalam pernyataannya.
Langkah penertiban diharapkan tidak hanya dilakukan pada tingkat operasional, tetapi juga untuk membongkar jaringan ekonomi dan politik yang selama ini menikmati keuntungan dari aktivitas tambang yang merusak lingkungan tersebut.