Aceh Besar, Selasa, 14 Oktober 2025 | Di Desa Bung Simek, Kecamatan Cot Glie, Kabupaten Aceh Besar, gempa tak datang dari tanah. Ia datang dari ucapan yang tidak ditepati, janji yang tidak pernah diwujudkan, dan kebijakan yang tak mengenal keadilan. Di tengah reruntuhan akibat angin puting beliung yang menerjang wilayah itu pada 20 April 2023, rakyat menunggu uluran tangan pemerintah. Tapi waktu membuktikan: bukan bantuan yang datang, melainkan sunyi, dan perempuan bernama Nur Khairan harus berjuang sendirian di antara puing-puing itu.
Kisah ini mencuat ke permukaan melalui penelusuran lapangan mahasiswa Prodi Pendidikan Fisika UIN Ar-Raniry pada 30 September 2025. Mereka datang membawa keilmuan tentang dinamika atmosfer dan dampak bencana. Tapi apa yang mereka temukan bukan hanya data tekanan angin dan tingkat kerusakan, melainkan retaknya kepercayaan masyarakat terhadap negara.
Lima rumah rusak berat dihantam badai dua tahun lalu. Pejabat datang terburu-buru setelah suara sirene reda. Mereka mencatat, berfoto, berbicara manis kepada warga, menyuarakan kalimat penuh harapan: semua korban akan mendapat rumah baru. Namun hari berganti bulan, bulan melangkah menjadi tahun, dan janji tinggal janji. Empat rumah dibangun. Satu rumah tertinggal—rumah Ibu Nur Khairan.
Ia hidup sebagai kepala keluarga sejak ditinggal suaminya. Membesarkan dua anak yang masih bersekolah di SMA dan SMP. Dalam rumah yang nyaris ambruk, ia bertahan, berharap bantuan datang seperti kata para pejabat. Tapi tidak satu pun yang kembali. Tidak satu pun bantuan yang menyentuh tanahnya. Tidak selembar seng, tidak sekarung semen.
“Di negeri yang katanya menjunjung tinggi keadilan sosial, justru rakyat kecil seperti Ibu Nur Khairan harus memperbaiki rumah yang hancur tanpa satu rupiah pun dari pemerintah,” ungkap salah satu mahasiswa yang ikut dalam penelitian tersebut.
Citra, sayangnya, sering kali lebih penting dari tindakan. Saat bencana terjadi, wajah-wajah penuh ‘empati’ beredar di media. Kalimat bernada kepedulian menjadi headline. Tapi begitu liputan selesai, begitu kamera diturunkan, yang ada hanyalah diam, dan rakyat ditinggal bergelut dengan kenyataan.
Keadilan, sekali lagi, jadi barang mewah yang selektif diberikan. Jika empat rumah bisa dibangun, mengapa satu rumah tersisa? Korban sama, bencana sama, waktu sama. Maka satu-satunya yang membedakan hanyalah perhatian. Dan ketika perhatian ditentukan oleh kedekatan, jaringan, atau bahkan kekuasaan, maka yang tumbuh bukanlah keadilan, melainkan diskriminasi yang dilegalkan.
Rumah Ibu Nur Khairan sekarang sudah berdiri lagi—bukan karena pemerintah, bukan karena anggaran bantuan, tapi karena keringatnya sendiri. Ia menabung dari penghasilan seadanya, memperbaiki dari sedikit demi sedikit, demi bisa memberikan tempat berteduh bagi anak-anaknya. Sementara para pejabat yang dulu datang dengan janji, kini entah di mana. Mungkin tengah sibuk bicara soal pembangunan. Mungkin sedang menggelar rapat tentang kesejahteraan rakyat. Tapi mereka lupa satu hal: di ujung dusun, ada utang janji yang belum dilunasi.
Pemerintah Kabupaten Aceh Besar, khususnya BPBD dan Dinas Sosial, harus segera melakukan evaluasi terhadap pendataan korban bencana angin puting beliung tahun 2023. Ini bukan hanya soal satu rumah, ini soal integritas dan kepercayaan publik. Transparansi wajib ditegakkan. Dana yang seharusnya digunakan untuk seluruh korban harus dipertanggungjawabkan, tanpa pilih kasih.
Mahasiswa yang turun ke lapangan menyuarakan dengan lantang: “Kami melihat sendiri, bahwa realitas di lapangan sangat jauh dari retorika politik. Pemerintah daerah harus tahu, bahwa korban bencana bukan alat pencitraan. Janji untuk membantu adalah tanggung jawab, bukan alat kampanye. Kata-kata kalian adalah utang kepada rakyat. Dan utang itu belum kalian bayar sampai hari ini.”
Ironi tak terbantahkan: saat mereka datang belajar soal fisika lingkungan, yang mereka temukan adalah lumpur nurani yang jenuh oleh ketidakadilan. Di antara rumus tekanan angin dan parameter kerusakan bangunan, terselip satu variabel paling nyata—bahwa bencana tak hanya menghancurkan bangunan, tapi juga memperlihatkan watak pejabat yang hanya hadir saat kamera menyala.
Ibu Nur Khairan tak butuh simpati. Ia sudah membuktikan bahwa kekuatan seorang ibu bisa lebih kokoh dari struktur pemerintahan. Yang ia butuhkan adalah kepastian—bahwa ia tak dikhianati oleh sistem. Lambat laun, rakyat pun belajar bahwa dalam banyak bencana, badan mereka diselamatkan oleh Tuhan, tapi nasib mereka dikhianati oleh negara. (*)