Kutacane | Proyek penanganan longsoran di kawasan perbatasan Gayo Lues – Aceh Tenggara kembali menuai sorotan tajam dari publik. Pekerjaan bernilai Rp10,7 miliar yang berlokasi di Desa Natam Baru, Kecamatan Badar, Aceh Tenggara itu diduga dilaksanakan tanpa fasilitas batching plant—sebuah komponen vital dalam proyek konstruksi beton skala besar. Keputusan teknis yang sembrono ini dituding tidak hanya melanggar prinsip standar mutu pekerjaan, tapi juga berpotensi menjadi ancaman serius terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Ketua DPD LSM Pemantau Kinerja Aparatur Negara (Penjara) Provinsi Aceh, Pajri Gegoh, mengecam keras metode pelaksanaan proyek tersebut yang ia nilai sebagai bentuk kelalaian yang berbahaya. Menurutnya, beton yang dicampur tanpa batching plant sangat rentan terhadap ketidaksesuaian kualitas, dan secara teknis bisa memicu degradasi struktural, terutama pada daerah rawan bencana seperti wilayah perbukitan Aceh Tenggara.
Namun yang lebih parah, kata Pajri, adalah dampak lingkungan dari pencampuran semen di lokasi tanpa kontrol dan peralatan standar. Ia menegaskan bahwa debu semen mengandung partikel halus dan logam berat yang bisa mencemari udara, tanah, hingga sumber air warga. Partikel mikro itu, jika tersebar dalam jumlah besar dan terus-menerus, dapat mengganggu sistem pernapasan, merusak vegetasi, bahkan berdampak buruk bagi kesehatan anak-anak dan lansia.
Pada Minggu, 20 Juli 2025, Pajri juga menambahkan bahwa partikel halus yang dihasilkan dari debu semen tersebut dapat mencemari udara, sehingga menyebabkan terjadinya masalah pernapasan pada manusia dan hewan, serta dapat merusak vegetasi. Pernyataan itu disampaikan setelah tim LSM Penjara meninjau lokasi proyek dan menerima laporan dari warga yang sudah mengeluhkan debu semen sejak tahap awal pekerjaan dimulai.
Kegiatan konstruksi yang mengabaikan dampak lingkungan secara langsung bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Pasal 22 UU tersebut, setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan wajib dilengkapi dengan dokumen AMDAL. Bahkan jika proyek tidak masuk kategori dampak penting, minimal harus memiliki UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan).
“Tanpa batching plant, tanpa kajian lingkungan, ini jelas pelanggaran. Pasal 69 UU Lingkungan Hidup menegaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup,” tegas Pajri.
Lebih lanjut, ia juga menyebutkan bahwa pelaksanaan proyek oleh penyedia jasa konstruksi harus mematuhi ketentuan teknis sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, khususnya Pasal 40 yang mengatur tentang kewajiban penyedia jasa untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi.
“Kita bicara tentang proyek negara bernilai lebih dari sepuluh miliar rupiah. Tapi pelaksanaannya seperti proyek borongan jalan desa. Di mana tanggung jawab teknisnya? Di mana pengawasan dari BPJN? Ini bukan main-main,” katanya dengan nada tinggi.
Pajri meminta Balai Pelaksanaan Jalan Nasional 3.5 Aceh untuk segera menghentikan pekerjaan dan melakukan audit lingkungan mendalam sebelum proyek dilanjutkan. Ia menyebutkan bahwa BPJN tak bisa hanya mengandalkan laporan progres pelaksanaan pekerjaan semata, tapi juga harus memastikan bahwa setiap langkah pekerjaan tidak melanggar hukum dan tidak menimbulkan kerusakan permanen bagi masyarakat dan lingkungan.
Ia menuding bahwa tidak digunakannya batching plant bisa saja bermotif ekonomi—memotong biaya dan mempercepat pekerjaan. Namun, pendekatan ini justru berbahaya dan melawan prinsip kehati-hatian dalam pembangunan infrastruktur.
“Kalau betul alasan efisiensi, itu jelas manipulatif. Hemat anggaran tapi menanam risiko jangka panjang. Kita tak butuh pembangunan yang merusak, kita butuh pembangunan yang berpihak pada rakyat dan alam,” tegasnya.
Kritik terhadap proyek ini juga mendapat sorotan dari jaringan pengawas lingkungan internasional. Associated Press of Humanity (APH), lembaga advokasi global yang fokus pada isu keadilan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, dalam pernyataan resminya menyebutkan bahwa proyek infrastruktur publik di negara-negara berkembang sering kali menjadi sumber pencemaran baru karena lemahnya penerapan standar lingkungan nasional.
“Pekerjaan konstruksi yang mengabaikan sistem pengelolaan material dan polusi udara berisiko tinggi memperburuk kualitas hidup masyarakat lokal. Praktik seperti ini bertentangan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan hak masyarakat atas lingkungan yang sehat,” tulis APH dalam siaran persnya, 18 Juli 2025, yang turut menyoroti kasus Aceh sebagai salah satu contoh buruk pelanggaran etika pembangunan.
LSM Penjara juga mempertanyakan bagaimana proyek sebesar itu bisa lolos tanpa evaluasi dampak lingkungan yang nyata. Ia mendesak agar Kementerian PUPR turun tangan meninjau langsung proyek ini dan memberikan sanksi kepada kontraktor maupun konsultan pengawas jika terbukti lalai atau menyimpang dari prosedur.
Hingga berita ini ditulis, belum ada keterangan resmi dari BPJN 3.5 Aceh ataupun pihak kontraktor pelaksana. Ketertutupan ini justru memperkuat dugaan adanya kejanggalan dalam pelaksanaan proyek yang seharusnya menyelamatkan kawasan rawan longsor, namun justru terancam menjadi bencana baru.
Pembangunan yang mengabaikan regulasi lingkungan dan keselamatan hanya akan menciptakan kerusakan jangka panjang. Di tengah krisis iklim dan bencana ekologis yang makin sering terjadi, pemerintah semestinya tidak bermain-main dengan proyek infrastruktur. Setiap pelanggaran terhadap standar lingkungan bukan hanya pelanggaran administratif, tapi kejahatan terhadap masa depan.
Laporan : Salihan Beruh