BANDA ACEH – Direktur Eksekutif Katahati Institute, Raihal Fajri, menyayangkan bahwa dalam peringatan 20 tahun damai Aceh, narasi resmi yang disampaikan Gubernur Aceh sekaligus mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Muzakir Manaf (Mualem), sama sekali tidak menyebut peran Inong Balee, sayap militer perempuan dalam konflik Aceh.
“Perempuan kombatan selalu diletakkan di pinggir sejarah. Nama mereka jarang disebut, padahal risiko dan kontribusi yang mereka jalani sama beratnya dengan laki-laki,” ujar Raihal, Ahad (17/8/2025).
Pasukan Inong Balee telah tercatat sejak abad ke-16. Pasukan yang terdiri dari para janda perang itu dipimpin seorang laksamana wanita dan terlibat melawan invasi Portugis serta armada dagang Belanda yang bersenjata lengkap. Mereka bukan sekadar simbol, melainkan kekuatan militer nyata yang ditakuti lawan.
Pada masa konflik modern antara GAM dan negara, istilah Inong Balee kembali muncul. Ratusan perempuan Aceh terlibat dalam berbagai peran, mulai dari memasak, merawat luka kombatan, membawa logistik, hingga menembak di garis depan.
Kisah perempuan kombatan ini lama terkubur. Baru pada 2015-2018, sejumlah Inong Balee muncul ke publik melalui penelitian yang dilakukan Prof. Wening Udasmoro dari UGM, Dr. Arifah, serta Raihal Fajri dan Tabrani Yunis. Hasil penelitian tersebut dirangkum dalam buku Gender and Peacebuilding, yang menyebut banyak Inong Balee menghadapi stigma ganda pascakonflik, tidak diakui sebagai kombatan, kurang mendapat akses reintegrasi, dan kerap dipinggirkan oleh komunitas sendiri.
Raihal menekankan pentingnya pengakuan terhadap perempuan kombatan agar kontribusi mereka setara dengan laki-laki dan hak-hak pascakonflik terpenuhi.