Langsa — Fenomena Aparatur Sipil Negara (ASN) yang merangkap profesi sebagai wartawan dan pengurus Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) kembali menuai sorotan dari berbagai kalangan. Praktik ini dianggap tidak hanya melanggar etika profesi, tetapi juga mengganggu prinsip netralitas serta integritas ASN dalam menjalankan tugas sebagai pelayan publik.
Menurut seorang pengamat kebijakan publik, rangkap jabatan tersebut menimbulkan konflik kepentingan yang serius, dan dapat merusak profesionalitas birokrasi negara. Ia menegaskan bahwa ASN merupakan bagian dari sistem pemerintahan yang harus bekerja secara loyal dan terikat pada aturan yang spesifik.
“ASN itu tunduk pada peraturan kepegawaian, bukan hanya Undang-Undang Dasar. Begitu seseorang memilih menjadi ASN, maka hak dan kebebasannya juga dibatasi demi menjaga netralitas dan loyalitas pada negara,” ujarnya saat ditemui, Sabtu (14/6/2025).
Ia menyoroti ketidaksesuaian peran ketika seorang ASN dalam waktu yang sama menjalankan fungsi sebagai jurnalis yang seharusnya netral dan kritis terhadap pemerintah, atau sebagai pengurus LSM yang cenderung berposisi sebagai pengawas dan pengontrol kebijakan publik.
“Bayangkan seseorang yang bekerja di pemerintahan, tapi juga menulis berita mengkritik kantornya sendiri, atau memimpin LSM yang melaporkan instansinya. Ini bukan hanya konflik kepentingan, tapi bentuk tabrakan nilai,” jelasnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, praktik semacam itu bila dibiarkan dapat mengaburkan batas antara tugas negara dan kepentingan pribadi. Tidak hanya mencoreng citra ASN, kondisi ini juga bisa melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintahan.
Dalam hal ini, ia mendorong Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) segera menyusun regulasi yang lebih tegas terkait larangan rangkap profesi, khususnya pada posisi-posisi yang mengandung unsur kontrol dan advokasi publik.
“Bukan berarti ASN tidak boleh berkegiatan di luar, tapi harus dipilah mana yang relevan dan tidak menimbulkan benturan kepentingan. Apalagi wartawan dan LSM, dua profesi yang punya kekuatan sosial dan politis cukup besar,” tambahnya.
Di sisi lain, Dewan Pers sendiri telah memiliki pedoman tegas yang melarang wartawan merangkap sebagai aktivis atau pejabat organisasi, terlebih lagi sebagai ASN. Hal ini dilakukan demi menjaga independensi pers dan objektivitas dalam menjalankan tugas jurnalistik.
“Wartawan itu alat kontrol sosial, bukan bagian dari kekuasaan. Jika ia juga ASN atau aktivis, maka fungsi kontrol itu akan terganggu. Sulit menjaga netralitas bila seseorang punya dua kepentingan,” katanya.
Sebagai penutup, ia menyerukan perlunya sinergi antara KemenPAN-RB, Dewan Pers, dan lembaga-lembaga pengawas lainnya untuk menindaklanjuti fenomena ini secara serius. Jika tidak ditertibkan, ia khawatir praktek rangkap profesi akan terus meluas dan menjadi kebiasaan yang mengancam profesionalisme birokrasi dan independensi media.
Redaksi